Inflasi Tiongkok yang tetap rendah menjadi kejutan positif bagi pasar global. Commerzbank menilai kondisi ini mendukung kekuatan Yuan (CNY) di tengah ekonomi dunia yang masih berjuang dengan tekanan harga tinggi. Simak analisis lengkapnya tentang prospek CNY hingga akhir tahun depan.
Inflasi China Masih Rendah Meski Ada Kejutan: Yuan Berpeluang Menguat di 2026
Data inflasi terbaru dari Tiongkok menghadirkan kejutan kecil bagi pasar keuangan global. Meski angka yang dirilis menunjukkan peningkatan tipis, inflasi di negeri tirai bambu ini masih tetap jauh di bawah standar ekonomi besar lainnya, menegaskan posisi unik China di tengah lanskap ekonomi global yang masih bergulat dengan tekanan harga tinggi.
Menurut laporan yang dirilis Commerzbank ,inflasi konsumen China pada Oktober 2025 tercatat naik 0,2% secara tahunan (year-on-year), sedikit lebih tinggi dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan 0,1% berdasarkan survei Bloomberg. Angka ini menjadi kejutan positif, mengingat beberapa bulan terakhir China sempat berada di ambang deflasi, dengan harga barang yang stagnan bahkan menurun.
Namun, sebagaimana dicatat oleh analis valas Commerzbank, Volkmar Baur, kenaikan 0,2% ini secara global masih tergolong sangat rendah. Dalam pandangannya, tingkat inflasi tersebut lebih menyerupai kenaikan harga bulanan di banyak negara maju, bukan inflasi tahunan. Artinya, tekanan harga di China masih relatif ringan dibandingkan dengan AS dan kawasan euro, yang menghadapi inflasi jauh di atas target bank sentral mereka.
Inflasi Rendah Jadi Kekuatan Struktural bagi Yuan
Menurut Commerzbank, fenomena inflasi rendah di Tiongkok bukanlah sesuatu yang bersifat sementara, melainkan cerminan dari kondisi struktural ekonomi negara tersebut. Selama bertahun-tahun, China berhasil menjaga kestabilan harga dengan mengandalkan efisiensi produksi, biaya tenaga kerja yang kompetitif, dan rantai pasok yang terintegrasi.
Dalam konteks global, kondisi ini justru menjadi faktor penguat bagi yuan (CNY). Pasalnya, harga barang dan jasa dari China menjadi lebih murah dibandingkan produk serupa dari Amerika Serikat dan Eropa, yang masih menghadapi inflasi tinggi. Akibatnya, nilai tukar riil (real exchange rate) memperlihatkan bahwa renminbi saat ini berada dalam posisi undervalued, atau dinilai lebih rendah dari nilai fundamentalnya.
“Hal ini mendukung ekspor China karena produk-produk mereka tetap kompetitif secara harga di pasar global,” jelas Baur. “Dengan kata lain, inflasi yang rendah justru memperkuat posisi perdagangan luar negeri Tiongkok.”
CNY Diprediksi Menguat Moderat, Tapi Tetap Terkendali oleh PBoC
Meskipun kondisi makroekonomi memberi ruang bagi apresiasi yuan, Commerzbank menegaskan bahwa penguatan CNY tidak akan terjadi secara agresif. Alasannya, nilai tukar USD/CNY masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan People’s Bank of China (PBoC).
“Yuan yang sedikit lemah saat ini sebenarnya menguntungkan pemerintah China,” tambah Baur. “Posisi ini membantu menjaga daya saing ekspor dan mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah permintaan global yang melambat.”
Namun demikian, Commerzbank memproyeksikan USD/CNY akan turun ke level 7,0 pada akhir tahun depan, dari posisi 7,1 saat ini. Proyeksi ini menunjukkan potensi penguatan nominal yuan terhadap dolar AS, sejalan dengan stabilisasi ekonomi domestik dan pemulihan bertahap konsumsi di China.
Kebijakan Moneter dan Stabilitas Harga Jadi Kunci
Kebijakan moneter China memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas inflasi. PBoC tetap mempertahankan pendekatan yang berhati-hati, dengan fokus pada stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan kredit yang terukur. Tidak seperti bank sentral di Barat yang menghadapi dilema antara menaikkan suku bunga dan menjaga pertumbuhan, China justru memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter tanpa risiko inflasi tinggi.
Dengan inflasi yang terkendali di kisaran 0–1%, Beijing memiliki fleksibilitas untuk mendukung sektor riil dan memperkuat daya saing ekspor, tanpa menimbulkan tekanan berlebihan terhadap sistem keuangan. Inilah yang menjadi alasan utama investor global tetap melihat yuan sebagai mata uang yang stabil dan menarik dalam jangka menengah.
Yuan Undervalued, Tapi Strategis untuk Ekspor dan Diplomasi Ekonomi
Dari perspektif perdagangan, nilai tukar yuan yang undervalued dianggap sebagai strategi efektif untuk menjaga momentum ekspor China di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Kelemahan nominal yuan membuat barang-barang buatan China tetap lebih murah bagi konsumen di luar negeri, membantu negara ini mempertahankan surplus perdagangan yang kuat. Namun, di sisi lain, penguatan gradual yuan—seperti yang diproyeksikan Commerzbank—akan meningkatkan kepercayaan global terhadap renminbi sebagai mata uang internasional.
Kombinasi dua hal ini—daya saing harga dan kepercayaan investor—dianggap menjadi pilar penting bagi strategi jangka panjang pemerintah China untuk menginternasionalisasi renminbi (RMB).
“Dengan yuan yang menguat secara nominal, namun tetap lemah secara riil, China mampu mempertahankan ekspor kompetitif sambil meningkatkan daya tarik global RMB sebagai alat transaksi lintas negara,” tulis laporan Commerzbank.
Arah Ekonomi China: Pemulihan yang Terkendali
Kenaikan inflasi yang ringan juga menjadi sinyal awal pemulihan permintaan domestik. Sektor-sektor seperti konsumsi rumah tangga, jasa, dan perdagangan ritel mulai menunjukkan peningkatan aktivitas. Namun, pemerintah masih berhati-hati agar pemulihan tidak terlalu cepat hingga menimbulkan risiko overheating.
Dalam konteks global yang masih bergejolak, stabilitas inflasi China justru menjadi keunggulan kompetitif. Ketika negara lain masih berjuang menekan inflasi dua digit, China tampil sebagai ekonomi besar yang mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, harga, dan nilai tukar.
Inflasi Terkendali, Yuan Siap Naik Kelas
Secara keseluruhan, data inflasi terbaru memperkuat pandangan bahwa ekonomi China sedang berada di jalur pemulihan yang tenang namun stabil. Dengan inflasi yang tetap rendah, yuan memiliki ruang untuk menguat secara nominal terhadap dolar AS, meskipun dalam batas kendali PBoC.
Bagi pelaku pasar global, kondisi ini menciptakan peluang menarik—baik dalam perdagangan mata uang maupun investasi jangka menengah di aset berdenominasi CNY.
Dengan USD/CNY diproyeksikan di 7,0 pada akhir 2026, renminbi berpotensi menjadi salah satu mata uang Asia yang paling stabil dan strategis di tahun mendatang—sebuah langkah penting menuju penguatan posisi global ekonomi Tiongkok.
One thought on “Yuan Tiongkok Tetap Tangguh di Tengah Inflasi Rendah”